Rabu, 02 Desember 2009

SMS dari Allah

Ada strategi baru agar melahirkan anak tidak lagi sakit. Tanpa obat, anestesi, apalagi operasi. Satu saja resepnya : ubah persepsi ! Oh, ya ? Holman (1984), pernah mendokumentasi, bahwa mereka yang menilai kehamilannya sebagai anugerah, cenderung lebih mampu menahan rasa sakit. Karena persepsi diri yang baik ini pula, mereka bisa mengendalikan perasaan dengan baik. Sehingga, usai persalinan, seakan tidak mengalami kejadian yang berat. Yang terasa kemudian adalah simponi kebahagiaan. Pakar psikologi sosial menyebut hal ini sebagai type of attribution,atau ‘bagaimana cara kita memandang sesuatu’. Artinya, persepsi membawa kita pada dua pilhan sudut pandang : baik atau buruk, berat atau ringan.

Apa kaitannya dengan kita yang didapuk jadi orang tua ? Hari-hari ini, semakin banyak saja orang tua yang mengeluhkan anak-anaknya. Yang nakal kek, bandel, lelet, manja, mau menang sendiri, de el el. Parahnya, lantas diikuti dengan menempelkan label tadi di jidat anak-anak. Pelan tapi pasti, orang tua itu sendiri yang merusak citra diri (self image) dan konsep diri (self concept) anak. Efikasinya jadi amburadul. Bahkan mati suri.

Padahal efikasi (yang berarti harapan untuk sukses yang berangkat dari keyakinan diri yang kuat) sangat menentukan kompetensi anak. Demikian diulas oleh Albert Bandura dalam buku Health Psicology Reader (2002). Dan, faktor terpenting pembentukan efikasi ada pada penerimaan tulus dan dukungan kuat orang tua. Nah, bagaimana mungkin ini terjadi bila orang tua tidak memulai dengan mempersepsi anak dari sudut pandang yang paling indah ?

Sekarang saatnya kita bersama belajar memahami anak-anak, dari sisi-sisi yang menentramkan hati. Dari arah yang menjadikan kita lebih kuat mengemban amanah. Maka bila sepulang sekolah anak kita marah-marah, pahami itu sebagai permintaan tambahan perhatian. Bukan sebuah pembangkangan. Atau, tiba-tiba mereka berkata kurang pantas, bertanyalah pada diri masing-masing : sejauh mana keteladanan kita berikan ? Tak perlu keburu marah karena mereka seharian bertengkar dengan saudara di rumah. Anggap saja mereka sedang belajar mengelola konflik. Sesuatu yang kelak sangat mereka butuhkan dalam kehidupan.

Akhirnya, naudzubillah, ketika kita hadapi kenyataan ‘kenakalan’ anak-anak kita seakan tercurah, tumplek blek kata orang Surabaya, jangan putus asa dulu. Mari kita lihat dengan kacamata harapan : Oh, siapa tahu anak kita menyampaikan SMS dari Allah, yang rindu mendengar rintihan doa dan air mata kita di malam sunyi. Allah kangen dengan lisan kita yang memanggil-manggil satu persatu nama anak-anak di akhir sujud panjang, di atas gelaran sajadah penuh cinta. (hq)

Senin, 02 November 2009

Guru Saya : Sirhan !

Cerita pertama : DNA Guru Bisa Menular ?

Sudah sekian tahun saya jadi guru. Baik yang resmi (maksudnya mengajar di sekolah formal) atau yang tidak resmi macam ngisi halaqoh, majelis taklim atau sedikit gaya jadi trainer-traineran. Rupanya ini garis hidup yang harus saya lewati, tafsir nyata kata bijak kuno 'setinggi-tinggi bangau terbang akhirnya ke kubangan juga'.

Betapa tidak. Saya yang dulu menolak masuk IAIN seperti keinginan kakek yang seorang kyai kampung itu -- agar kelak jadi guru seperti beliau --, lalu mbalelo masuk jurusan ilmu politik karena waktu kecil pernah kepingin jadi dubes, eh ternyata jatuh ke 'kubangan' bernama dunia pendidikan. Jadi guru juga kan akhirnya. Sampai ada teman yang iseng, gelar SIP saya yang mestinya Sarjana Ilmu Politik, diplesetkan jadi Sarjana Ilmu Pendidikan.

Sekali lagi, ini memang garis hidup. Dari ayah, ibu, kakek, buyut dan seterusnya ke atas, ternyata mbulet di profesi pendidikan. Kalaupun ada (bahkan banyak) yang semacam pindah jalur dari guru ke politik (jadi lurah, camat atau tentara) ya sambilan mereka juga pendidikan.
Ndilalah, punya istri yang kuliah di jurusan antropologi, lha kok ya 'tega-teganya' diterima jadi PNS guru SMA.

Fenomena istri saya ini agak aneh. Kalau tidak salah, setahu saya, tidak ada riwayat keluarganya yang jadi guru. Jangan-jangan, mungkin karena sekian tahun dekat dengan suami yang mengalir darah guru, istri saya semacam ketularan. DNA-nya (atau apalah istilah yang tepat untuk ini) yang mestinya jadi pejabat atau ambtenaar, berubah jadi DNA guru. Semoga besuk-besuk ada penelitian tentang hal ini...

Jika saja benar garis hidup bisa 'menular', kapan-kapan saya jadi ingin satu dua anak saya ketularan DNA profesi lain. Jangan semua jadi guru lah. Bayangan saya ada yang jadi dokter (dulu setiap orang tua 'ngudang' anaknya besuk jadi dokter yang numpak helipkopter), jadi pengusaha, atau bahkan politisi (yang jujur, jangan politisi busuk !). Mungkin, salah satu media penularanya adalah untuk sekian waktu tertentu anak-anak saya tadi numpang atau sering berinteraksi dengan orang-oarang yang profesinya saya sebut tadi.

Ya semacam magang gitulah. Atau ngenger. Masalahnya, ada nggak di antara kita, para orang tua, yang mau dingengeri ?

**bersambung..pokoknya nulis dulu..biar nggak lupa karena kebanyakan fesbukan..*

Selasa, 03 Maret 2009

Anak Kita Mirip Indomie

Baru saja Sirhan, anak ke 4 kami, telpon. "Bi, saya sakit panas (ya, panas, bukan panang)", katanya, sambil bergaya melas, lalu diam. Gaya diam ini, seharian penuh di tempaat tidur, memang sudah jadi merek Sirhan ketika sakit. Saya jadi ingat bagaimana gaya ke empat anak saya kalau sakit.

Namira, misalnya. Pernah suatu hari ujung telunjuknya sedikit luka. Orang Jawa bilang siwelen. Waduh, suara kesakitannya kayak orang jual jamu di pasar tradisional. Pake nangis segala. Dilihat uminya malah banter nagisnya. Apalagi kalau uminya sudah membawa Betadine. Saya samapai komentar "Wis kita panggil ambulan saja, ada pasien gawat darurat nih...".

Yang Rifyan lain lagi. Kalau sakit cenderung merengek-rengek. Tapi suaranya pelan, meski dimelas-melaskan. Pernah terjadi, waktu sakit panas, kami tawari makanan ini itu yang dia mau. Anehnya, hanya bibirnya yang gerak. Saya dan istri tidak paham juga, saking pelannya. Sampai kami tahu, ternyata dia minta PECEL. Aneh bin ajaib, wong biasanya tidak suka pecel pas sakit malah mau. Sampai sekarang saya suka tirukan gayanya kalau minta pecel dengan isyarat bibir saja.

Ahzam lebih jagoan. Waktu ketabrak sepeda motor (dua motor dari arah berbeda !), kulit kepalanya mengelupas 15 cm, membentuk huruf u. Darah berceceran. Bahkan pasir jalanan masuk ke lukanya. Para tetangga membawa ke Puskesmas, lalu naik ambulan dirujuk ke RSUD Sidoarjo. Lukanya harus dijahit banyak. Jam 7 kecalakaan, baru klir jam 10an. Hebatnya, Ahzam sama sekali tidak nangis ! Subhanalloh.

Kisah Ahzam jadi perbincangan ibu-ibu di perumahan kami. Sampai ada yang mengolok suami yang ngalem kalau sakit, dibandingkan dengan Ahzam. "Ahzam saja gak nangis, kamu sakit gitu saja mewek", katanya.

Urusan sakit, ya tadi 'petanya'. Kalau urusan kemandirian, alhamdulillah semua sudah kami syukuri. Tapi sepertinya Namira yang paling hebat. Kadang malah kelebihan, terutama bawelnya,kalau sudah membantu keperluan adik-adik.

Perbedaan juga nampak dalam urusan sosialisasi, kecerdasan, ibadah, de el el. Benar, waktu nonton TV, jadi sadar kalau anak-anak memang kaya iklan Indomie. Unik, beda, tapi tetap satu kan. Yang beda banyak hal, tapi yang sama satu saja kalau dibandingkan abinya : semua sama gelap kulitnya. Padahal uminya lumayan putih lho ya....

Minggu, 01 Maret 2009

Sirhan Bisa Ngomong S

Sirhan, anak bungsu 3 tahun di kelurga kami, pekan ini buat prestasi baru. Dia telah berhasil melafalkan bunyi s dengan benar. Padahal sekian lama Sirhan telah menghibur kami dengan kelucuannya mengganti bunyi s dengan ng. Misalnya, 'siap bos' jadi 'siap boong', mas ahzam atau mas rifyan (dua kakak laki-lakinya) dengan 'mang ajam dan mang ipan' (sampai ada orang yang mengira kami bersuku sunda, karena panggilan mang, bukannya mas). Kali lain, sambil membawa hp berlari ke arah uminya, dia ngomong 'umi ada sms' dengan 'umi, ada ceng e ceng' (kali ini kaya orang Madura he he).

Hebatnya, virus s ini menulari saudaranya yang lain. Bahkan lebih berkembang biak. Mereka kalau ngomong ya banyak eng-nya. Misalnya, beras jadi berang, minum es jadi minum eng, pipis jadi piping, males jadi maleng, habis jadi habing. Saya sendiri, kalau kebetulan dimintai tolong ini itu sama istri, juga ikutan bilang 'siap booong'...

Tapi pagi itu dengan bangga dia menelpon yangtinya di Madiun, dan berkata : "Yangti, aku sudah bisa ngomong sssss, ssss, ssss..". Kini, meski masih sambil senyum-senyum sambil hati-hati kalau ngomong s, tapi kelihatan dia seneng banget atas prestasinya.

Yang 'sedih' saya dan istri (lho ?), yang kehilangan satu kelucuannya he he. "Wah, gak ono sing ngomong 'siap bong lagi nih, atau 'umi ada ceng e ceeeng ?", bisik istri saya. Tapi, alhamdulillahnya, saya bisa membuktikan apa yang ditulis Mas Fauzil Adhim dalam bukunya Salahnya Kodok yang saya beli jauh sebelum saya nikah. Di salah satu pembahasannya tentang bagaimana mengajari anak yang gagap bicara, Mas Fauzil memberi tips untuk tidak mendikte anak dengan lafal yang benar, atau menuntut anak bisa ngomong dengan benar, de el el.

Kami tambah yakin, anak-anak memang memiliki dunianya sendiri. Punya cara sendiri untuk melewati tangga demi tangga kehidupannya. Yakin, insyaallah merek akan juga memiliki masadepannyanya sendiri. Kita, para orang tua, cukup jadi semacam tukang kebun saja...