Selasa, 03 Maret 2009

Anak Kita Mirip Indomie

Baru saja Sirhan, anak ke 4 kami, telpon. "Bi, saya sakit panas (ya, panas, bukan panang)", katanya, sambil bergaya melas, lalu diam. Gaya diam ini, seharian penuh di tempaat tidur, memang sudah jadi merek Sirhan ketika sakit. Saya jadi ingat bagaimana gaya ke empat anak saya kalau sakit.

Namira, misalnya. Pernah suatu hari ujung telunjuknya sedikit luka. Orang Jawa bilang siwelen. Waduh, suara kesakitannya kayak orang jual jamu di pasar tradisional. Pake nangis segala. Dilihat uminya malah banter nagisnya. Apalagi kalau uminya sudah membawa Betadine. Saya samapai komentar "Wis kita panggil ambulan saja, ada pasien gawat darurat nih...".

Yang Rifyan lain lagi. Kalau sakit cenderung merengek-rengek. Tapi suaranya pelan, meski dimelas-melaskan. Pernah terjadi, waktu sakit panas, kami tawari makanan ini itu yang dia mau. Anehnya, hanya bibirnya yang gerak. Saya dan istri tidak paham juga, saking pelannya. Sampai kami tahu, ternyata dia minta PECEL. Aneh bin ajaib, wong biasanya tidak suka pecel pas sakit malah mau. Sampai sekarang saya suka tirukan gayanya kalau minta pecel dengan isyarat bibir saja.

Ahzam lebih jagoan. Waktu ketabrak sepeda motor (dua motor dari arah berbeda !), kulit kepalanya mengelupas 15 cm, membentuk huruf u. Darah berceceran. Bahkan pasir jalanan masuk ke lukanya. Para tetangga membawa ke Puskesmas, lalu naik ambulan dirujuk ke RSUD Sidoarjo. Lukanya harus dijahit banyak. Jam 7 kecalakaan, baru klir jam 10an. Hebatnya, Ahzam sama sekali tidak nangis ! Subhanalloh.

Kisah Ahzam jadi perbincangan ibu-ibu di perumahan kami. Sampai ada yang mengolok suami yang ngalem kalau sakit, dibandingkan dengan Ahzam. "Ahzam saja gak nangis, kamu sakit gitu saja mewek", katanya.

Urusan sakit, ya tadi 'petanya'. Kalau urusan kemandirian, alhamdulillah semua sudah kami syukuri. Tapi sepertinya Namira yang paling hebat. Kadang malah kelebihan, terutama bawelnya,kalau sudah membantu keperluan adik-adik.

Perbedaan juga nampak dalam urusan sosialisasi, kecerdasan, ibadah, de el el. Benar, waktu nonton TV, jadi sadar kalau anak-anak memang kaya iklan Indomie. Unik, beda, tapi tetap satu kan. Yang beda banyak hal, tapi yang sama satu saja kalau dibandingkan abinya : semua sama gelap kulitnya. Padahal uminya lumayan putih lho ya....

Minggu, 01 Maret 2009

Sirhan Bisa Ngomong S

Sirhan, anak bungsu 3 tahun di kelurga kami, pekan ini buat prestasi baru. Dia telah berhasil melafalkan bunyi s dengan benar. Padahal sekian lama Sirhan telah menghibur kami dengan kelucuannya mengganti bunyi s dengan ng. Misalnya, 'siap bos' jadi 'siap boong', mas ahzam atau mas rifyan (dua kakak laki-lakinya) dengan 'mang ajam dan mang ipan' (sampai ada orang yang mengira kami bersuku sunda, karena panggilan mang, bukannya mas). Kali lain, sambil membawa hp berlari ke arah uminya, dia ngomong 'umi ada sms' dengan 'umi, ada ceng e ceng' (kali ini kaya orang Madura he he).

Hebatnya, virus s ini menulari saudaranya yang lain. Bahkan lebih berkembang biak. Mereka kalau ngomong ya banyak eng-nya. Misalnya, beras jadi berang, minum es jadi minum eng, pipis jadi piping, males jadi maleng, habis jadi habing. Saya sendiri, kalau kebetulan dimintai tolong ini itu sama istri, juga ikutan bilang 'siap booong'...

Tapi pagi itu dengan bangga dia menelpon yangtinya di Madiun, dan berkata : "Yangti, aku sudah bisa ngomong sssss, ssss, ssss..". Kini, meski masih sambil senyum-senyum sambil hati-hati kalau ngomong s, tapi kelihatan dia seneng banget atas prestasinya.

Yang 'sedih' saya dan istri (lho ?), yang kehilangan satu kelucuannya he he. "Wah, gak ono sing ngomong 'siap bong lagi nih, atau 'umi ada ceng e ceeeng ?", bisik istri saya. Tapi, alhamdulillahnya, saya bisa membuktikan apa yang ditulis Mas Fauzil Adhim dalam bukunya Salahnya Kodok yang saya beli jauh sebelum saya nikah. Di salah satu pembahasannya tentang bagaimana mengajari anak yang gagap bicara, Mas Fauzil memberi tips untuk tidak mendikte anak dengan lafal yang benar, atau menuntut anak bisa ngomong dengan benar, de el el.

Kami tambah yakin, anak-anak memang memiliki dunianya sendiri. Punya cara sendiri untuk melewati tangga demi tangga kehidupannya. Yakin, insyaallah merek akan juga memiliki masadepannyanya sendiri. Kita, para orang tua, cukup jadi semacam tukang kebun saja...